BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Islam
adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan
manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam
dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik
manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan
sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan
kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
Islam
adalah sistem kehidupan (way of life). Islam menyediakan berbagai perangkat
aturan yang lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi.
Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, sehingga ekonomi Islam bagian
tak terpisahkan (integral) dari agama Islam. Sebagai derivasi dari agama Islam,
ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Ciri khas
ekonomi Islam adalah tidak memisahkan antara norma dan fakta, serta konsep yang
rasional.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Ekonomi
Islam?
2. Bagaimana Perkembangan Pemikiran Teori
Ekonomi Islam?
3. Bagaimana Perkembangan Praktik Ekonomi
Islam?
4. Bagaimana
Gerakan Ekonomi Islam Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM
Perkembangan
ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi Islam rahmatan lil
‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta, termasuk
manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan pemilik modal,
tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan ekosistem,
tidak ada produksi yang hanya berorientasi untung semata, jurang kemiskinan
yang tidak terlalu dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan dan mubadzir,
tidak ada korupsi dan mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah, dan tidak ada
tipuan dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi tersebut, manusia
menemukan harmoni dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan insya Allah di
kehidupan sesudah kematian nantinya.
Ekonomi
Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata dari upaya
operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat
direalisasikan. Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang belum merupakan
bentuk ideal dari visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi sebuah ironi, sebagian
umat Islam yang seharusnya mengemban visi tersebut, saat ini distigmakan
sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat Islam yang lain
tidak henti-hentinya saling mencurigai, berburuk sangka, berperang dan bahkan
saling mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan
ekonomi Islam adalah salah satu harapan untuk mewujudkan visi Islam tersebut.
Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral dalam mewadahi,
sebagaimana dinyatakan Masrhal[1], dua
kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama.
Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi Islam adalah
merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu,
yaitu Allah SWT (tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam
semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan
menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan kontradiksi
antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi
pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip
ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an: “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”[2]
Ekonomi
Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam direalisasikan,
proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam dalam bentuk
realitas. Proses mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas dapat dilihat
dari dua wujud yang saat ini sudah berkembang, yaitu wujud teori ekonomi Islam
dan praktik ekonomi Islam.
2.2 PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TEORI EKONOMI ISLAM
Perkembangan
teori ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam
al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279 tetang jual-beli dan
riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pembukuan transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1
tentang akad; QS. Al-A’raf ayat 31, An-Nisa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan
pencarian, penitipan dan membelanjakan harta. Ayat-ayat ini, menurut
At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan pokok ekonomi sejak
pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan secara metodis oleh
para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan
perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang muncul pun belum
beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari perkembangan pemikiran ini
adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil
‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai
sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.[4]
Tahap
Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua (656-661M), pemikiran
ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap Ketiga atau Periode Awal
(738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu
Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan
Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I (820 M), Abu Ubayd (838 M),
Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M),
Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan
Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf
Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M),
Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).
Tahap
Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode ini Al
Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al
Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M),
Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M),
Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al
Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi
(857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M),
Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl
(1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap
Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762 M),
Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti
Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu
Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
Tahap
Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad Abdul Mannan (1938),
Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer
Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra.
Hasil
pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut :
1. Zaid bin Ali (80-120H./699-738M),
adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang
lebih tinggi dari harga tunai.[5]
2. Abu Hanifah (80-150H/699-767M),
Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis,
Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa
yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām dan ah%al-murābah.[6]
3. Al-Awza’i (88-157H./707-774M.).
Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang berasal dari Beirut, Libanon dan
hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu
ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem
muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman
modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.[7]
4. Imam Malik Bin Anas
(93-179H./712-796M.). Imam Malik lebih
dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab
hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia
menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya.
Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori
istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai
kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari
diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun
tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi
terpenuhinya kebutuhan bersama.[8]
5. Abu Yusuf (112-182H./731-798H.).
Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan
panggilan jabatanya (akīm%al-Qadli H) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal
perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan
umum, dan perkembangan pertanian.[9] Ia pun dikenal sebagai penulis pertama
buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu
‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam
pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni
Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang
menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena
itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur,
al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[10] Sedangkan pemikiran kontroversialnya
ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni
penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih
rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk
intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan
tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah
wajib melakukanya.[11]
6. Al-Farabi (260-339 H/870-950 M).
Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia,
yaitu 1) Madinatu an Nawabit, masyarakat kayu-kayuan atau negara liar; 2)
Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat binatang atau negara primitif; 3) Madinatu
adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4) Madinatu al hissah wa as-saqro, negara
keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw al-badalah, negara bertukar kebutuhan; 6)
Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis; 7) Madinatu al-Jama’iyyah, negara
anarki atau masyarakat komunis; Madinatu al fadhilah, Negara utama.[12]
7. Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam
(157-224H/774-738M). Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd,
al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m
‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas
rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan
sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya
dengan merekam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis di bidangnya. Bab pertama buku
ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu
adalah kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap
orang adalah “penggembala” yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara
tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan
bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya,
yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas
rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan
bertanggung jawab atasnya.
8. Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia
mengemukakan pendapatnya antara lain:
a. manusia adalah makhluk berekonomi;
b. ekonomi membutukan negara;
c. perkembangan ekonomi melalui
perkembangan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara;
d. ekonomi negara ia berpendapat bahwa tujuan politik negara harus diarahkan kepada
keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan kestabilan
ekonomi harus dijaga;
e. Prinsip yang lain adalah arta milik
berasal dari warisan dan hasil kerja;
f. wajib bekerja untuk mendapatkan harta
ekonomi menurut jalannya yang sah;
g.
pengeluaran dan pemasukan harus
diatur dengan anggaran;
h. pengeluaran wajib atau nafaqah yang
sifatnya konsumtif harus dikeluarkan sehemat mungkin, pengeluaran untuk
kepentingan umum (masyarakat dan negara) yang sifatnya wajib juga harus dicukupkan
dengan hati yang iklas;
i. setiap orang harus mempunyai rencana
simapanan yang menjadi jaminan baginya pada saat kesukaran atau saat
diperlukan.[13]
9. Abu Hamid al-Ghazali (450-505
H/1058-1111). Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan filosof serta
pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa:
a) perkembangan ekonomi bertolak dari hd)
akikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu materi, manusia dan pembagunan. Ketiga
unsur ini interdependence;
b) perkembangan ekonomi perlu adanya
transportasi;
c) uang bukanlah komoditi, melainkan alat
tukar;
d) perkembangan ekonomi meningkat menjadi
ekonomi Jasa, yaitu hubungan jasa di antara manusia;
e) perlu adanya pemerintah;
f) mata uang negara Islam;
g) perlunya institut perbankan; h) hati-hati
terhadap riba;
h) Dua jalur transaksi perbankan, pribadi
dan negara.[14]
10. Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis
al-Ahkam al-Sulthaniyyah,[15] adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang
menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara
urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n
wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala
negara dalam karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi
pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak kepala negara adalah untuk
mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomi,
politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak
Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan
harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, poduksi barang
dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian
utama ilmu ekonomi.
11. Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis
buku dalam bahasa Persia, Akhlaq Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila
seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya
sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai
makanan yang cukup untuk jangka lama.
12. Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu
Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa
al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat
untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan
negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara
(al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat
al-maliyyah (politik hukum publik dan privat).[16]
13. Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan
asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia
tidak mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya,
al-Muqaddimah,[17] tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia
membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh
lebih luas daripada definisi TusiDi Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi
islam dikembangkan oleh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi
maupun para profesional. Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic
Thougt yang telah menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa
perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah
diselenggarakan di Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas
Gajah Mada dan Universitas Brawijaya.[18]
Para
pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis buku ekonomi Islam
dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan pemikir ekonomi
Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim,
Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dengan perkembangan
pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yang mengawali
membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam,
UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya
(1997).
2.3 PERKEMBANGAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM
Praktek
perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada
lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan,
yakni:
1) menerima simpanan uang;
2) meminjamkan uang atau memberikan
pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah;
3) memberikan jasa pengiriman atau
transfer uang.
Istilah-istilah
fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan
modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa
Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah
berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa
Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa
Prancis.
Fungsi-fungsi
yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak
zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan
tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah.
Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang
melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi
tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang
setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang
beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut
di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu
disebut naqid, sarraf, dan jihbiz[19] yang kemudian menjadi cikal bakal praktek
pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan
bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir
(908-932).[20] Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media
pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai
orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq
dengan Alepo (Spanyol).[21]
Mengingat
penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan roda
perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan
tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses.
Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga
di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan
mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank
tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan.
Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi
pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh
National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim
Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser
Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya
berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Baru
tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk
mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi,
kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang
berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah
yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang
mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975
didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di
berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula
lembaga – lembaga keuangan syariah.
Momentum
Indonesia Syariah Expo hendaknya bisa menyentakkan dan membuka mata pemerintah
untuk melirik dan menerapkan ekonomi syariah sebagai solusi perekonomian
Indonesia. Pemerintah harus melihat ekonomi
syari’ah dalam konteks penyelamatan ekonomi Nasional. Sehubungan dengan itu,
pembentukan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) perlu kembali diwujudkan dengan
memasukkan para pakar ekonomoi syariah di dalamnya. Ekonomi syariah di
Indonesia telah menunjukkan ketangguhannya di masa krisis dan lagi pula dalam
praktek perekonomian di Indonesia selama ini, Indonesia sudah menerapkan dual system, yakni konvensional dan sistem
ekonomi syari’ah, terutama yang berkaitan dengan lembaga perbankan dan
keuangan.
3.2 SARAN
1) Semoga makalah yang dibuat oleh
penyusun ada manfaatnya bagi pembaca khususnya bagi penulis.
2) Ekonomi syariah islam telah
terbukti dalam membangun ekonomi nasional jadi pemerintah harus segera
mempergunakan system ekonomi islam untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi
rakyat.
3) Pemerintah jangan menghilangkan
system ekonomi islam pada era sekarang ini melainkan harus terus menjaga
ekonomi syariah islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
‘Ubayd al-Qasim bn Sallam. 1981. Al-Amwa’l.
Beirut Libanon. Mu’assassat al-Nashir.
Abu
al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, t.t.
al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut.
Adiwarman
A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. At-Tariqi, Abdullah
Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta: Magistra
Insania Press, 2004)
Cf.
The Muqaddimah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dri bhasaArab oleh
Franz Rosenthal (3 jilid) diterbitkan oleh Bollingen Foundation Inc., New York
Dawam
Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank
Islam: analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003
Fakta
penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok
Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat,
DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kopontren semakin
menjamur setelah digulirkanya proyek P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
(baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002),
hal. 149. Penulis buku ini menkompilasi dari Sumber M. Najatullah Siddiqi
(1995), M. Aslam Hannaef (1995), dan A. Karim (2001).
Ibn
Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah dalam
Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan
bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan
BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.
M
Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=217
tanggal 30 Nov 2006.