Thursday 1 March 2018

PERAN TOKOH KEBANGKITAN NASIONAL DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA

PERAN TOKOH KEBANGKITAN NASIONAL DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA

1. Wahidin Sudirohusodo
Wahidin Sudirohusodo adalah seorang tokoh pencetus ide lahirnya Budi Utomo 1908. Beliau lahir pada tanggal 7 Januari 1852 di Mlati, Sleman, Yogyakarta dan wafat pada tanggal 26 Mei 1917 dan dimakamkan di Mlati, Sleman, Yogyakarta. Semasa hidupnya, tahun 1895 bersama rekan-rekannya mendirikan Surat Kabar dua bahasa (Jawa dan Melayu) Retno Dumilah di Yogyakarta. Pada tahun 1906 sampai sdengna 1907 giat melaksanakan perjalanan mengumpulkan Studiefonds (Dana Pendidikan) bagi penduduk pribumi. Setelah bertemu dengan Sutomo berpadulah gagasan mereka yang teraktualisasi dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini akhirnya menjadi pioner terhadap bangkitnya kesadaran nasional sehingga setiap tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan nasional hingga sekarang.Wahidin Sudirohusodo beristri seorang wanita Betawi yang bernama Anna. Dari perkawinannya lahirlah dua orang anak. Salah satunya bernama Abdullah Subroto yang kemudian menurunkan Sujono Abdullah dan Basuki Abdullah (keduanya pelukis).

Sebagai akibat politik etis yang didalamnya terkandung usaha memajukan pengajaran maka pada dekade pertama abad XX bagi anak-anak Indonesia masih mengalami hambatan kekurangan dana belajar. Keadaan yang demikian menimbulkan keprihatinan dr. Wahidin Sudirohusodo untuk dapat menghimpun dana itu maka pada tahun 1906-1907 melakukan propraganda keliling Jawa. Perjalanan keliling Jawa ini dilakukan dalam rangka menganjurkan perlunya perluasan pengajaran sebagai salah satu langkah untuk memajukan kehidupan rakyat. Anjurannya itu dapat terealisasi tidak hanya bergantung kepada pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga dapat terealisasinjika bangsa Indonesia juga mau berusaha sendiri dengan cara membentuk studiefonds atau dana pelajar yang hasilnya akan digunakan untuk membantu para pelajar yang pandai tetapi kurang mampu untuk dalam hal biaya. Dalam tperjalanan kelilingnya itu akhirnya pada tahun 1907 sampai di Jakarta dan bertemu dengan para pelajar Stovia (Sekolah Dokter Pribumi). Disitulah Wahidin bertemu dengan pemuda Sutomo dan berbincang-bincang tentang nasib rakyat yang masih kurang mendapat perhatian di bidang pendidikan. Sejak itu rupanya tumbuh pemikiran dalam diri Sutomo untuk melanjutkan cita-cita Wahidin Sudirohusodo. Dari sinilah muncul gagasan untuk mendirikan suatu organisasi.

Dr Wahidin Sudirohusodo adalah salah satu pelopor pergerakan nasional, pendiri organisasi Boedi Utomo dan tokoh yang memberi inspirasi terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gagasan penting yang mewarnai perjuangan pergerakan nasional adalah memprakarsai organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Diantara itu, dia juga mengemukakan gagasan tentang strategi perjuangan kemerdekaan yaitu dengan mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pendidikan, mengabdikan pengetahuannya sebagai dokter yang memberikan layanan kesehatan secara gratis kepada masyarakat dan memperluas pendidikan dan pengajaran dan memupuk kesadaran kebangsaan.

2. Dr. Sutomo
Dokter Sutomo yang semula bernama Subroto kemudian berganti nama menjadi Sutomo lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, pada tangggal 30 Juli 1888. Pada waktu belajar di Stovia (Sekolah Dokter) ia sering bertukar pikiran dengan pelajar-pelajar laintentang penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Terkesan oleh saran dr. Wahidin untuk memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa  dari penjajahan, pada tanggal 20 Mei 1908 para pelajar STOVIA mendirikan Budi Utomo, organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Sutomo diangkat menjadi ketuanya. Tujuan organisasi itu ialah memajukan pengajaran dan kebudayaan.

Setelah lulus dari Stovia tahun 1911, Sutomo bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, sesudah itu ia dipindahkan ke Tuban. Dari Tuban dipindahkan ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Waktu bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan. Sering berpindah tempat itu ternyata membawa manfaat. Ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai dokter, Sutomo tidak menetapkan tarif. Adakalanya si pasien dibebaskan dari pembayaran.

Kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda diperoleh dr. Sutomo pada tahun 1919. Setibanya kembali di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, diusahakannya agar Budi Utomo bergerak dibidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Pada tahun 1924 Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinan Sutomo PBI cepat berkembang. Sementara itu, tekanan-tekanan dari pemerintah Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Karena itu, pada bulan Desember 1935 Budi Utomo dan PBI digabungkan menjadi satu dengan nama Partai Indonesia Raya (Parindra). Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo giat pula di bidang kewartawanan dan memimpin beberapa buah surat kabar. Ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938 dan dimakamkan disana. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961, ia diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

3. HOS Cokroaminoto

Nama lengkap beliau adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminotolahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih. Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.
Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada akhirnya tahun 1912 SID berubah menjadi Sarekat Islam.

Seiring perjalanannya, SI digiring menjadi partai politik setelah mendapatkan status Badan Hukum pada 10 September 1912 oleh pemerintah yang saat itu dikontrol oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berkembang menjadi parpol dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada pedagang dan rakyat Jawa-Madura saja. Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu pelopor partai Islam yang sukses saat itu.
Perpecahan SI menjadi dua kubu karena masuknya infiltrasi komunisme memaksa HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati kala itu. Ia bersama rekan-rekannya yang masih percaya bersatu dalam kubu SI Putih berlawanan dengan Semaun yang berhasil membujuk tokoh-tokoh pemuda saat itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam kubu SI Merah. Namun bagaimanapun, kewibaan HOS Cokroaminoto justru dibutuhkan sebagai penengah di antara kedua pecahan SI tersebut, mengingat ia masih dianggap guru oleh Semaun. Singkat cerita jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin lebar saat muncul pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang Pan-Islamisme (apa yang selalu menjadi aliran HOS dan rekan-rekannya). Hal ini mendorong Muhammadiyah pada Kongres Maret 1921 di Yogyakarta untuk mendesak SI agar segera melepas SI merah dan Semaun karena memang sudah berbeda aliran dengan Sarekat Islam. Akhirnya Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI dan kemudian pada 1929 SI diusung sebagai Partai Sarikat Islam Indonesia hingga menjadi peserta pemilu pertama pada 1950.
HOS Cokroaminoto hingga saat ini akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan pergenakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata-kata mutiaranya seperti “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” akhirnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia menjadi salah satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya kekuatan politik dan perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun.

4. Douwes Dekker
Douwes Dekker terlahir dari keluarga yang berada. ayahnya bernama Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker yang bekerja sebagai agen di sebuah bank ternama yang bernama Nederlandsch Indisch Escomptobank. Kemudian Ibunya bernama Louisa Neumann, orang Belanda yang memiliki darah keturunan Indonesia.
Douwes Dekker diketahui memiliki saudara berjumlah tiga orang. Pendidikan Douwes Dekker pertama kali dimulai kota Pasuruan. Tamat dari sana, ia kemudian masuk di HBS di Surabaya, namun tidak lama disana, orang tuanya kemudian memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang bernama Gymnasium Koning Willem III School. Selepas lulus dari sana, ia kemudian diterima bekerja di kebun kopi di wilayah Malang, Jawa Timur. Disini, beliau kemudian melihat bagaimana perlakuan semena-mena yang dialami oleh para pekerja pribumi di kebun kopi tersebut. 
Tindakan semena-mena tersebut membuat Douwes Dekker kemudian biasa membela para pekerja kebun tersebut yang membuat ia cenderung dimusuhi oleh para pengawas kebun yang lain. Hingga membuat ia kemudian berkonflik dengan managernya yang pada akhirnya Douwes Dekker kemudian dipindahkan ke perkebunan Tebu namun ia kemudian tidak lama bekerja disana sebab ia kembali berkonflik perusahaannya karena masalah pembagian irigasi antara perkebunan tebu dan para petani padi diwilayah tersebut yang pada akhirnya membuat ia dipecat dari pekerjaannya. 
Setelah dipecat dan menjadi seorang pengangguran, ibunya Louisa Neumann kemudian meninggal dan menyebabkan Douwes Dekker kemudian depresi. Ia kemudian meninggalkan Hindia Belanda dan kemudian ke Afrika Selatan menerima tawaran pemerintah kolonial Belanda untuk ikut berperang dalam perang Boer melawan Inggris pada tahun 1899 dan Di Afrika Selatan, ia bahkan sempat menjadi warga negara disana dan membuat saudaranya yang lain menyusulnya kesana. 
Di Indonesia, Douwes Dekker kemudian kembali aktif di dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya kemudian banyak menyindir kaum kolonial. Di saat itu juga, Douwes Dekker kemudian mendirikan partai baru penerus Indische Partij yang bernama Nationaal Indische Partij namun partai tersebut tidak mendapat izin dari pemerintahan kolonial Belanda.
Di tahun 1919, Douwes Dekker dituduh terlibat dalam peristiwa kerusuhan petani perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Namun di pengadilan, ia kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
Namun tuduhan baru kemudian menimpanya, Ia dituduh menulis hasutan dan melindungi seorang redaktur surat kabar yang menulis komentar tajam terhadap pemerintah kolonial Belanda namun setelah di pengadilan kemudian dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuduhan. Di tahun yang sama juga, ia memilih bercerai dengan istrinya yaitu Clara Charlotte Deije.
Larangan mengajar membuat Douwes Dekker kemudian bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Batavia (Jakarta). Disini, ia kemudian akrab dengan Mohammad Husni Thamrin. Serangan Jerman ke Eropa membuat banyak orang-orang Eropa yang ditangkap termasuk Douwes Dekker yang dituduh sebagai Komunis.
Douwes Dekker kemudian dibuang ke Suriname di tahun 1941 yang juga menyebabkan ia kemudian berpisah dengan istrinya Johanna Petronella Mossel yang memilih untuk menikah lagi dengan seorang pribumi bernama Djafar Kartodiredjo. Di Suriname, Douwes Dekker tinggal di kamp 'Jodensavanne' yang sempat menjadi kamp orang Yahudi. Di kamp tersebut, kehidupan Douwes Dekker sangat memprihatikan bahkan ketika ia berumur 60 tahun, ia sempat kehilangan penglihatan dan hidupnya sangat tertekan.
Usainya perang dunia II, membuat Douwes Dekker kemudian dikirim ke Belanda tahun 1946. Disana ia bertemu dengan seorang perawat bernama Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian menemaninya ke Indonesia dan tiba pada tanggal 2 januari 1947 di Yogyakarta dan sempat mengganti namanya untuk menghindari intelijen. Di tahun ittu juga ia menikah dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian dikenal dengan nama Haroemi Wanasita setelah mengetahui bahwa istrinya sebelumnya telah menikah lagi.
Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaan, Douwes Dekker kemudian mengisi posisi penting sebagai menteri negara di kabinet Sjahrir III meskipun hanya 9 bulan saja. Douwes Dekker juga sempat menjadi delegasi negosiasi dengan Belanda dan pengajar di Akademi Ilmu Politik  dan kepala seksi penulisan sejarah yang berada dibawah Kementrian Penerangan ketika itu. Pada tanggal 28 agustus 1950, Douwes Dekker akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, namun di batu nisan makamnya tertulis ia wafat pada tanggal 29 agustus 1950. Beliau kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.

5. Dr. Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangunkusumo dilahirkan di Desa Pecagakan, Jepara. Ia adalah putera tertua dan Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa yang bekerja sebagai guru. Meskipun demikian, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto dinilai sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam, dan rajin. Para guru menjuluki Cipto sebagai “een begaald leerling” atau murid yang berbakat. Cipto juga dengan tegas memperlihatkan sikapnya. Ia membuat tulisan-tulisan pedas mengkritik Belanda di harian De locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad sejak tahun 1907. Setelah lulus dari STOVIA, beliau bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial Belanda yang ditugaskan di Demak. Sikapnya yang tetap kritis melalui berbagai tulisan membuatnya kehilangan pekerjaan.

Cipto Mangunkusumo menyambut baik kehadiran Budi Utomo sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Ia menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Hal ini menimbulkan perbedaan antara dirinya dan pengurus Budi Utomo lainnya. Cipto Mangunkusumo lalu mengundurkan diri dan membuka praktek dokter di Solo, ia pun mendirikan R.A. Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat.

Ia kemudian bertemu Douwes Dekker dan bersama Suwardi Suryaningrat mereka mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Cipto selanjutnya pindah ke Bandung dan aktif menulis di harian De Express. Menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dan Perancis, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi mendirikan Komite Bumiputera sebagai reaksi atas rencana Belanda merayakannya di Indonesia.

Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Ais ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Cipto kemudian menulis artikel yang mendukung Suwardi keesokan harinya. Akibatnya, 30 Juli 1913 Cipto Mangunkusumo dan Suwardi dipenjara. Melihat kedua rekannya dipenjara, Douwes Dekker menulis artikel di De Express yang menyatakan bahwa keduanya adalah pahlawan. Pada 18 Agustus 1913, Cipto Mangunkusumo bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker dibuang ke Belanda.

Selama di Belanda, kehadiran mereka membawa perubahan besar terhadap Indische Vereeniging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang semula bersifat social menjadi lebih politis. Konsep Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).

Pada tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Cipto Mangunkusumo terpilih sebagai salah satu anggota oleh gubernur jenderal Hindia Belanda mewakili tokoh yang kritis. Sebagai anggota Volksraad, sikap  Cipto Mangunkusumo tidak berubah. Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 mengusir Cipto Mangunkusumo ke luar Jawa. Cipto kemudian dibuang lagi ke Bandung dan dikenakan tahanan kota. Selama tinggal di Bandung, Cipto Mangunkusumo kembali membuka praktek dokter dengan bersepeda ke kampung-kampung. Di Bandung pula CiptoMangunkusumo bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda, termasuk oleh Sukarno.
Pada tahun 1927, Belanda Menganggap Cipto Mangunkusumo terlibat dalam upaya sabotase sehingga membuangnya ke Banda Neira. Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Ketika Cipto Mangunkusumo diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa untuk berobat dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda. Cipto kemudian dipindahkan ke Makasar, lalu ke Sukabumi pada tahun 1940. Udara Sukabumi yang dingin Ternyata tidak baik bagi kesehatan beliau sehingga dipindahkan lagi ke Jakarta hingga Dokter Cipto Mangunkusumo wafat pada 8 Maret 1943.

6. Suwardi Suryaningrat
Tokoh berikut ini dikenal sebagai pelopor pendidikan untuk masyarakat pribumi di Indonesia ketika masih dalam masa penjajahan Kolonial Belanda. Beliau merupakan tokoh pendidikan indonesia dan juga seorang pahlawan Indonesia.  Beliau sendiri lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889, Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau sendiri terlahir dari keluarga Bangsawan, ia merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Terlahir sebagai bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum bangsawan. Beliau juga mempunyai nama lain yang terkenal yaitu Ki Hajar Dewantara

Mulai Bersekolah dan Menjadi Wartawan
Ia pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda, yang kini dikenal sebagai fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tidak sampai tamat sebab ia menderita sakit ketika itu.
Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti kolonial. Seperti yang ia tuliskan berikut ini dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker :

Masuk Organisasi Budi Utomo

Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial dan politik kemudian mendorong Ki Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya, Di Budi Utomo ia berperan sebagai propaganda dalam menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa Indonesia. Munculnya Douwes Dekker yang kemudian mengajak Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan organisasi yang bernama Indische Partij yang terkenal.
Di pengasingannya di Belanda kemudian Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-bercita untuk memajukan kaumnya yaitu kaum pribumi. ia berhasil mendapatkan ijazah pendidikan yang dikenal dengan nama Europeesche Akte atau Ijazah pendidikan yang bergengsi di belanda. Ijazah inilah yang membantu beliau untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang akan ia buat di Indonesia.
Di Belanda pula ia memperoleh pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara kemudian mempersunting seorang wanita keturunan bangsawan yang bernama Raden Ajeng Sutartinah yang merupakan putri paku alaman, Yogyakarta.
Dari pernikahannya dengan R.A Sutartinah, Ki Hadjar Dewantara kemudian dikaruniai dua orang anak bernama Ni Sutapi Asti dan Ki Subroto Haryomataram. Selama di pengasingannya, istrinya selalu mendampingi dan membantu segala kegiatan suaminya terutama dalam hal pendidikan.



Kembali Ke Indonesia dan Mendirikan Taman Siswa

Kemudian pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan langsung bergabung sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia terima di sekolah tersebut kemudian digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada sekolah yang ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922, sekolah tersebut bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa.
Di usianya yang menanjak umur 40 tahun, tokoh yang dikenal dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, hal ini ia maksudkan agar ia dapat dekat dengan rakyat pribumi ketika itu. 

Semboyan Ki Hadjar Dewantara

Ia pun juga membuat semboyan yang terkenal yang sampai sekarang dipakai dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu :
·                     Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh).
·                     Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat).
·                     Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan).


Beliau dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan juga sebagai Pahlawan Nasional oleh presiden Soekarno ketika itu atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan bangsa Indonesia. Selain itu, pemerintah juga menetapkan tanggal kelahiran beliau yakni tanggal 2 Mei diperingati setiap tahun sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara Wafat pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Wajah beliau diabadikan pemerintah kedalam uang pecahan sebesar 20.000 rupiah.

4 comments:

NASKAH DRAMA BAHASA JAWA ANDE ANDE LUMUT

Naskah Drama Ande-Ande Lumut 1.  Tema   : Golek Garwa 2.  Cerita apa  : Ande-ande Lumut 3 .  Ceritane kaya piye   : Panji Asmar...